Minggu, 12 Juni 2016

BUDAYA KAMI



SURAK IYUN
TERIAKAN SYUKUR

Senja Di Atas Gunung Kapur
Surak Iyun merupakan salah satu adat kebudayaan di Desa Gading, kecamatan Playen, Gunungkidul. Yakni sebuah adat yang dilaksanakan oleh para nenek moyang pada zaman dahulu hingga sampai sekarang ini, masih dilestarikan.
 Desa Gading adalah sebuah desa dimana saya lahir dan bertempat tinggal di sana. Desa Gading terdiri dari 10 dusun yakni dusun Gading 1 itu merupakan tempat tinggal saya, Gading 2, Gading 3 sampai dengan Gading 10. Desa ini masih mempunyai sebuah tradisi yang cukup unik menurut saya yaitu tradisi memberkati hewan atau surak iyun. Saya ingin mengetahui secara dalam tentang surak iyun. Pada di suatu sore hari saya mendatangi salah satu rumah warga di sana. Di sebuah rumah yang sederhana, saya bertemu dengan seorang nenek-nenek paruh baya, para warga sering memanggilnya Simbok Saniyem. Simbok Saniyem duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu, di tangannya memegang sebuah kaleng berisi racikan untuk menginang. Menandakan bahwa ia sedang bersantai. Saya mendekati beliau dan mulai berbincang – bincang. Sampai kami tiba di sebuah topic yakni Surak iyun. Berbelit – belit si Simbok ini menjelaskan tentang Surak iyun. Dan dapat saya simpulkan dari beberapa tuturan simbok itu bahwa Surak Iyun itu memiliki sebuah makna yang mulia yaitu sebuah bentuk rasa syukur, kebahagiaan, serta mendoakan atas kesehatan, dan rezeki yang diberikan oleh Tuhan YME terhadap hewan ternak mereka pada zaman lampau maupun hingga sekarang. Walaupun saat ini seiring berjalannya waktu tak banyak yang melaksanakan syukuran surak iyun tersebut, hal ini dikarenakan sudah tidak banyak lagi warga yang memiliki hewan ternak. Hewan yang di maksudkan dalam syukuran tersebut adalah hewan ternak seperti sapi, kerbau, kambing, bebek, ayam, termasuk kuda.
 Surak Iyun sendiri memang di tujukan kepada si pemilik hewan , bahkan zaman dahulu diwajibkan untuk melaksanakan syukuran. Dan apabila si pemilik hewan tidak melaksanakan syukuran, maka menurut mitos dan kepercayaan setempat hewan ternak mereka tidak menjadi berkah bagi si pemilik. Agar hewan ternak mereka menjadi berkah maka masyarakat melaksanakan surak iyun. Masyarakat yang mempunyai hewan maka membuat gumbreg, meliputi ubo rampe yakni gunungan nasi putih di letakkan di tengah – tengah sebuah tempat berbentuk bulat lebar terbuat dari anyaman bamboo yang sering kami sebut dengan tampah lalu bagian tepi diisi oleh urab sayur seperti kacang panjang, bayam, kangkung, sawi, daun papaya, daun singkong, taoge, papaya muda yang di iris tipis lalu di rebus semua sayuran tersebut hingga lunak setelah itu di campur ke dalam sambal dari kelapa yang telah di parut halus di masak dengan campuran berbagai rempah. Serta tidak ketinggalan yaitu sayur lombok tempe dan telur rebus yang turut menghiasi isi tumpeng tersebut, sebenarnya si pemilik hewan dapat menambahkan beberapa makanan tambahan lain sesuai keinginan si pemilik, namun kata si Simbok yang paling pokok atau makanan intinya adalah nasi gunungan, urab dan sayur Lombok yang tidak boleh sampai terlewatkan. Gunungan yang telah siap akan di letakkan di depan pintu si pemilik rumah, gumbreg tersebut akan di sajikan kepada orang – orang yang akan datang untuk bersurak iyun, orang- orang di sekitar daerah tersebut akan datang pada pukul 16:00, berpakaian bebas serta membawa tempat atau wadah berupa piring atau bahkan baskom. Tua, muda, anak – anak, sampai dewasa, mereka berkumpul dan berkeliling di setiap rumah warga yang telah menyiapkan tumpeng. Sebenarnya surak iyun di tujukan kepada anak – anak mengapa demikian, karena sebagai pelajaran agar mereka tau rasa bersyukur, dan mengetahui bahwa ini adalah adat para leluhur. Tercatat ada 6 rumah warga yang ada di Rt 12 Gading 1 yang masih memiliki hewan ternak sapi dan kambing.

“Gendroyono gelatik tumpaling jingo,
 jo kandheg jo karep,
kandhegko kandhang lumbunge, surako surak iyun” (oleh pemilik hewan)
“ Surak – Surak Iyun!” (para warga secara serentak)

Terdengar teriakan keras macapat Jawa yang di lantunkan oleh si pemilik hewan dan para warga lainnya yang merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar hewan mereka selalu sehat, berkembang baik dan menjadi berkah. Lantunan selesai lalu si pemilik hewan akan mengambil sepucuk bagian atas tumpeng untuk di berikan hewannya di kandang, kemudian salah satu warga lainnya akan membagikan tumpeng tersebut kepada siapapun yang bearada di situ secara merata. Tata cara tersebut akan terus berlanjut ke rumah - rumah warga lainnya yang membuat tumpeng, itulah mengapa warga menggunakan wadah/tempat seperti baskom atau bahkan panci agar muat dan tidak tumpah saat membawanya.

Perselisihan Waktu dan Wilayah
Waktu diadakannya surak iyun adalah dua kali dalam setahun, pada hari Jum’at Pahing bulan Rejeb dan Sapar menurut tanggalan Jawa. “Bedo deso, bedo dino” tutur Simbok, yang maksudnya berbeda desa atau daerah, berbeda pula penentuan harinya, namun tetap dalam 2x setahun dan bulan yang sama yakni Rejeb dan Sapar. Seperti di desa kami, khususnya di Gading 1 masyarakat melakukan syukuran surak iyun pada hari Jum’at Pahing. Di desa Nogosari diadakan pada hari Senin Pahing, desa Beji pada hari Rabu Pahing. Menurut info yang saya dapatkan, sebab terjadinya perbedaan hari pelaksanaan surak iyun ini bahwa pada zaman dahulu di hari tertentu contohnya di desa Nogosari, terletak di sebelah ….. dari desa Gading, terdapat warga di kawasan Nogosari mempunyai hewan ternak yang berkembang biak dengan baik dan beranak pinak, maka untuk merayakannya mereka membuat syukuran. Syukuran di buat pada saat tepat di hari itu, kebetulan di Nogosari adalah hari ….. maka dari itu pelaksanaan surak iyun diadakan pada sore hari karena warga akan selesai membuat tumpengan atau gumbregnya di sore hari. Adapun di tempat lain seperti desa Gading 1 dan di sekitarnya yang memiliki hewan ternak namun perkembangan si hewan berbeda maka hari syukuran di tentukan oleh keadaan keberuntungan si pemilik hewan dan hewan itu sendiri. Meskipun terjadi perbedaan hari yang membingungkan, namun pelaksanaan surak iyun akan tetap sama tujuan dan maksudnya.

***
Peran Mereka Yang Sebenarnya
Mengapa pada zaman dahulu para leluhur sangat menghormati hewan ternak mereka? Menurut warga di Gading ini, zaman dahulu masyarakat percaya bahwa hewan sangat membawa berkah dan kebutuhan dalam kehidupannya, tidak hanya hewan namun tumbuhan juga. Mereka mendapat uang dari hasil panen dan menjual hewan mereka. Pada zaman dulu hanya dengan memiliki hewan ternak banyak dan sawah yang luas maka mereka akan di anggap sebagai orang yang kaya walaupun mereka hidup sederhana namun, mereka memiliki tabungan yakni berupa hewan dan hasil panen. Di sisi lain karena hewan sebagai pembawa berkah, para leluhur di zaman dahulu percaya bahwa pada dasarnya hewan memiliki insting yang lebih kuat daripada manusia. Hewan di jadikan penanda akan terjadinya sesuatu/bencana, maka dari itu manusia pada zaman dahulu memuliakan hewan.
Rasulan atau Surak Iyun
Bicara soal hasil panen para warga, karena kearifan local di kalangan para leluhur, tak hanya hewan saja yang di buatkan syukuran. Namun, hasil panen para warga terutama padi, kacang – kacangan hasil tani mereka akan di buatkan acara tersendiri, yaitu Rasulan atau lebih di kenal dengan bersih desa. Saya hanya akan membahas sedikit tentang rasulan ini, karena di Gunungkidul adat yang paling popular adalah rasulan bersih desa. Sama halnya dengan Surak iyun hanya saja rasulan lebih di kenal bahkan sudah menjadi icon ritual tetap di Gunungkidul, tiap tahun pasti ada dan setiap kecamatan di seluruh Gunungkidul pasti melakukan ritual ini, sehingga dapat di katakan bahwa rasulan adalah adat terpopuler. Rasulan ini lebih mengutamakan syukuran untuk hasil panen masyarakat di Gunungkidul, seperti yang kita ketahui bahwa penduduk di Gunungkidul sebagian besar mata pencaharian utama mereka adalah bertani dan yang kedua adalah berternak. Leluhur yang sangat mencintai alamnya, mereka bersyukur dengan cara saling berbagi melalui adat istidat rasulan dan surak iyun. Kedua adat tersebut memang sama tujuannya yakni sebagai upaya manusia memahami, menghormati dan mensyukuri alam semesta beserta seluruh makhluk penghuninya sebagai sesama ciptaan tuhan.


TEATERMAGALAS 30 MEI -1 juni 2016



REPORT TEATER

Hari rabu tanggal 1 juni 2016, pukul 07:00 malam saya dan teman saya berlima mendatangi Auditorium Driyarkara Sanata Dharma untuk menyaksikan teater dari PGSD dengan membawakan 2 pertunjukan yaitu yang pertama Dilema Moral yang di bawakan oleh mahasiswa semester 6, dan Jambanisme yang di bawakan oleh mahasiswa semester 2. Pertunjukan pertama yang kami tonton adalah Dilema Moral, yang menceritakan Brahma sebagai tokoh pertama, ia adalah sosok yang menjadi korban pergaulan bebas, kehidupannya yang begitu gelap namun setelah bertemu dengan Astrid seorang wanita cantik yang menjadi temannya di sebuah bangku Universitas, kehidupan Brahma pun mulai berubah, ia telah meninggalkan kebiasaan buruknya di masa lalu. Namun Astrid adalah wanita yang mengidap penyakit kanker  otak sangat kecil kemungkinan Astrid untuk dapat disembuhkan. Hingga tiba di waktu jalnya Astrid menulis surat untuk Brahma yang berisi ucapan selamat tinggal dan permohonan Astrid agar Brahma dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
                Pertunjukan ini menarik karena di sini para penonton tidak menjadi tegang saat menontonnya, terdapat unsur komedi,humor, romantic bahkan penonton dikejutkan oleh pocong  dalam teater Dilema Moral ini. Aksi lucu mereka membuat penonton tertarik sekaligus penasaran kejutan apa yang akan di tampilkan. Di hadiri pula oleh para dosen pembimbing yang memberikan komentar dan pendapat mereka masing-masing tentang bagaimana pertunjukan tersebut.
***
Pertunjukan yang kedua adalah Jambanisme, waktu pukul 09:35 malam pertunjukan yang terakhir ini saya dan teman- teman saya hanya menonton 15 menit karena sudah malam dan hari kamis pagi kami memiliki jam kuliah dan tugas yang belum selesai jadi kami pulang terlebih dahulu sebelum teater tersebut selesai. Teater yang kedua ini juga cukup menarik karena unsure komedi yang lebih menggilitik, karena dengan adanya seorang tokoh yang menggunakan dialeg ngapak membuat para penonton tertawa terbahak . itulah pengalaman kami saat menonton teater di Auditorium Driyarkara Sanata Dharma.