SURAK IYUN
TERIAKAN SYUKUR
Senja Di Atas Gunung Kapur
Surak Iyun merupakan
salah satu adat kebudayaan di Desa Gading, kecamatan Playen, Gunungkidul. Yakni
sebuah adat yang dilaksanakan oleh para nenek moyang pada zaman dahulu hingga
sampai sekarang ini, masih dilestarikan.
Desa Gading adalah sebuah desa dimana saya
lahir dan bertempat tinggal di sana. Desa Gading terdiri dari 10 dusun yakni
dusun Gading 1 itu merupakan tempat tinggal saya, Gading 2, Gading 3 sampai
dengan Gading 10. Desa ini masih mempunyai sebuah tradisi yang cukup unik
menurut saya yaitu tradisi memberkati hewan atau surak iyun. Saya ingin
mengetahui secara dalam tentang surak iyun. Pada di suatu sore hari saya
mendatangi salah satu rumah warga di sana. Di sebuah rumah yang sederhana, saya
bertemu dengan seorang nenek-nenek paruh baya, para warga sering memanggilnya Simbok Saniyem. Simbok Saniyem duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu, di
tangannya memegang sebuah kaleng berisi racikan untuk menginang. Menandakan bahwa ia sedang bersantai. Saya mendekati
beliau dan mulai berbincang – bincang. Sampai kami tiba di sebuah topic yakni
Surak iyun. Berbelit – belit si Simbok ini menjelaskan tentang Surak iyun. Dan
dapat saya simpulkan dari beberapa tuturan simbok itu bahwa Surak Iyun itu
memiliki sebuah makna yang mulia yaitu sebuah bentuk rasa syukur, kebahagiaan,
serta mendoakan atas kesehatan, dan rezeki yang diberikan oleh Tuhan YME terhadap
hewan ternak mereka pada zaman lampau maupun hingga sekarang. Walaupun saat ini
seiring berjalannya waktu tak banyak yang melaksanakan syukuran surak iyun
tersebut, hal ini dikarenakan sudah tidak banyak lagi warga yang memiliki hewan
ternak. Hewan yang di maksudkan dalam syukuran tersebut adalah hewan ternak
seperti sapi, kerbau, kambing, bebek, ayam, termasuk kuda.
Surak Iyun sendiri memang di tujukan kepada si
pemilik hewan , bahkan zaman dahulu diwajibkan untuk melaksanakan syukuran. Dan
apabila si pemilik hewan tidak melaksanakan syukuran, maka menurut mitos dan
kepercayaan setempat hewan ternak mereka tidak menjadi berkah bagi si pemilik. Agar
hewan ternak mereka menjadi berkah maka masyarakat melaksanakan surak iyun.
Masyarakat yang mempunyai hewan maka membuat gumbreg, meliputi ubo rampe yakni
gunungan nasi putih di letakkan di tengah – tengah sebuah tempat berbentuk
bulat lebar terbuat dari anyaman bamboo yang sering kami sebut dengan tampah lalu bagian tepi diisi oleh urab
sayur seperti kacang panjang, bayam, kangkung, sawi, daun papaya, daun
singkong, taoge, papaya muda yang di iris tipis lalu di rebus semua sayuran
tersebut hingga lunak setelah itu di campur ke dalam sambal dari kelapa yang
telah di parut halus di masak dengan campuran berbagai rempah. Serta tidak
ketinggalan yaitu sayur lombok tempe dan telur rebus yang turut menghiasi isi
tumpeng tersebut, sebenarnya si pemilik hewan dapat menambahkan beberapa
makanan tambahan lain sesuai keinginan si pemilik, namun kata si Simbok yang
paling pokok atau makanan intinya adalah nasi gunungan, urab dan sayur Lombok
yang tidak boleh sampai terlewatkan. Gunungan yang telah siap akan di letakkan
di depan pintu si pemilik rumah, gumbreg
tersebut akan di sajikan kepada orang – orang yang akan datang untuk bersurak
iyun, orang- orang di sekitar daerah tersebut akan datang pada pukul 16:00,
berpakaian bebas serta membawa tempat atau wadah berupa piring atau bahkan
baskom. Tua, muda, anak – anak, sampai dewasa, mereka berkumpul dan berkeliling
di setiap rumah warga yang telah menyiapkan tumpeng. Sebenarnya surak iyun di
tujukan kepada anak – anak mengapa demikian, karena sebagai pelajaran agar
mereka tau rasa bersyukur, dan mengetahui bahwa ini adalah adat para leluhur.
Tercatat ada 6 rumah warga yang ada di Rt 12 Gading 1 yang masih memiliki hewan
ternak sapi dan kambing.
“Gendroyono gelatik
tumpaling jingo,
jo kandheg jo karep,
kandhegko kandhang
lumbunge, surako surak iyun” (oleh pemilik hewan)
“ Surak – Surak Iyun!” (para
warga secara serentak)
Terdengar teriakan
keras macapat Jawa yang di lantunkan oleh si pemilik hewan dan para warga
lainnya yang merupakan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar hewan mereka selalu
sehat, berkembang baik dan menjadi berkah. Lantunan selesai lalu si pemilik
hewan akan mengambil sepucuk bagian atas tumpeng untuk di berikan hewannya di
kandang, kemudian salah satu warga lainnya akan membagikan tumpeng tersebut
kepada siapapun yang bearada di situ secara merata. Tata cara tersebut akan
terus berlanjut ke rumah - rumah warga lainnya yang membuat tumpeng, itulah
mengapa warga menggunakan wadah/tempat seperti baskom atau bahkan panci agar
muat dan tidak tumpah saat membawanya.
Perselisihan Waktu dan Wilayah
Waktu diadakannya surak
iyun adalah dua kali dalam setahun, pada hari Jum’at Pahing bulan Rejeb dan Sapar
menurut tanggalan Jawa. “Bedo deso, bedo dino” tutur Simbok, yang maksudnya
berbeda desa atau daerah, berbeda pula penentuan harinya, namun tetap dalam 2x
setahun dan bulan yang sama yakni Rejeb dan Sapar. Seperti di desa kami, khususnya
di Gading 1 masyarakat melakukan syukuran surak iyun pada hari Jum’at Pahing.
Di desa Nogosari diadakan pada hari Senin Pahing, desa Beji pada hari Rabu
Pahing. Menurut info yang saya dapatkan, sebab terjadinya perbedaan hari
pelaksanaan surak iyun ini bahwa pada zaman dahulu di hari tertentu contohnya
di desa Nogosari, terletak di sebelah ….. dari desa Gading, terdapat warga di
kawasan Nogosari mempunyai hewan ternak yang berkembang biak dengan baik dan
beranak pinak, maka untuk merayakannya mereka membuat syukuran. Syukuran di
buat pada saat tepat di hari itu, kebetulan di Nogosari adalah hari ….. maka
dari itu pelaksanaan surak iyun diadakan pada sore hari karena warga akan
selesai membuat tumpengan atau gumbregnya di sore hari. Adapun di tempat lain
seperti desa Gading 1 dan di sekitarnya yang memiliki hewan ternak namun
perkembangan si hewan berbeda maka hari syukuran di tentukan oleh keadaan
keberuntungan si pemilik hewan dan hewan itu sendiri. Meskipun terjadi
perbedaan hari yang membingungkan, namun pelaksanaan surak iyun akan tetap sama
tujuan dan maksudnya.
***
Peran Mereka Yang Sebenarnya
Mengapa pada zaman
dahulu para leluhur sangat menghormati hewan ternak mereka? Menurut warga di
Gading ini, zaman dahulu masyarakat percaya bahwa hewan sangat membawa berkah
dan kebutuhan dalam kehidupannya, tidak hanya hewan namun tumbuhan juga. Mereka
mendapat uang dari hasil panen dan menjual hewan mereka. Pada zaman dulu hanya
dengan memiliki hewan ternak banyak dan sawah yang luas maka mereka akan di anggap
sebagai orang yang kaya walaupun mereka hidup sederhana namun, mereka memiliki
tabungan yakni berupa hewan dan hasil panen. Di sisi lain karena hewan sebagai
pembawa berkah, para leluhur di zaman dahulu percaya bahwa pada dasarnya hewan
memiliki insting yang lebih kuat daripada manusia. Hewan di jadikan penanda
akan terjadinya sesuatu/bencana, maka dari itu manusia pada zaman dahulu
memuliakan hewan.
Rasulan atau Surak Iyun
Bicara soal hasil panen
para warga, karena kearifan local di kalangan para leluhur, tak hanya hewan
saja yang di buatkan syukuran. Namun, hasil panen para warga terutama padi,
kacang – kacangan hasil tani mereka akan di buatkan acara tersendiri, yaitu Rasulan atau lebih di kenal dengan
bersih desa. Saya hanya akan membahas sedikit tentang rasulan ini, karena di
Gunungkidul adat yang paling popular adalah rasulan bersih desa. Sama halnya
dengan Surak iyun hanya saja rasulan lebih di kenal bahkan sudah menjadi icon
ritual tetap di Gunungkidul, tiap tahun pasti ada dan setiap kecamatan di
seluruh Gunungkidul pasti melakukan ritual ini, sehingga dapat di katakan bahwa
rasulan adalah adat terpopuler. Rasulan ini lebih mengutamakan syukuran untuk
hasil panen masyarakat di Gunungkidul, seperti yang kita ketahui bahwa penduduk
di Gunungkidul sebagian besar mata pencaharian utama mereka adalah bertani dan
yang kedua adalah berternak. Leluhur yang sangat mencintai alamnya, mereka
bersyukur dengan cara saling berbagi melalui adat istidat rasulan dan surak
iyun. Kedua adat tersebut memang sama tujuannya yakni sebagai upaya manusia memahami,
menghormati dan mensyukuri alam semesta beserta seluruh makhluk penghuninya
sebagai sesama ciptaan tuhan.